Penamas.id – Banyak orang merasa bangga akan nama, dengan senior yang dpunyainya, dengan nama keluarga, dengan nama-nama orang tuanya, sedangkan di belahan bumi lainnya mereka berbangga-bangga dengan ilmu pengetahuan. Barat maju dengan ilmu pengetahuan, dunia Islam maju dengan ilmu pengetahuan, tetapi yang culas tetap culas, yang menipu tetap menipu. Di banyak belahan di bumi pertiwi ini juga, tak terkecuali Cianjur, banyak orang-orangnya yang tak mau untuk mengakui kesederhaan, padahal kesederhanaan adalah kekayaan terbesar di alam semesta, suatu karunia alam, ia merupakan bentuk lain dari kejujuran, sedang kejujuran sendiri adalah wajah lain dari keberanian. Tak ada indahnya, hidup tanpa keberanian dan kejujuran.
Sayangnya, manusia Indonesia utamanya di kabupaten Cianjur tidak pernah diajarkan dua kata yang mengandung mistis tersebut. Tak herannya, keterjalinan hubungan yang terjadi di antara sesama manusia dalam pergaulan di bumi manusianya hanyalah sebatas pada suatu transaksi kepentingan semata, yang terkadang nir-etis dan begitu kentara nuansa politis-pragmatisnya. Di sinilah, saat keadaan masyarakat kacau karena terhempasnya nilai-nilai kemanusiaan, kaum intelektual harus turun tangan.
Ialah mahasiswa pada kemudiannya memiliki tanggung jawab soal dengan berpikir dan bersikap kritis serta bertindak transformatif dalam menjadi katalisator agen perubahan di dalam usaha-usaha menanamkan kembali nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Sayangnya, masih banyak mahasiswa Cianjur yang belum dapat tampil untuk menjawab tantangan tadi dan seolah-olah laksana anak ayam kehilangan induknya, banyak kami rasakan-sebagai mahasiswa aktif asal Cianjur yang kehilangan visi pada upaya menjadi katalisator Pembangunan manusia Cianjur ke depannya, mahasiswa-mahasiswa ini telah menjadi seragam dan kadang kehilangan jati diri dan ujudnya dan ini berimplikasi logis pada corak berpikir manusia Indonesia secara umumnya yang amat mudah merasionalisasikan keadaan, mereka menjelma para pengecut yang dirasionalisasikan sebagai kepatuhan.
Akibatnya, kami-kami, mahasiswa yang masih duduk di bangku kelas perkuliahan kadang-kadang bertanya tentang keberadaan diri sendiri; apakah saya seorang kader HIMAT? Fungsionaris partai yang kebetulan menjadi mahasiswa atau apakah saya politikus yang harus bersikap hipokrit dan penuh tipu daya serta bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipil? Serta tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk? Atau, apakah kami-kami mahasiswa Cianjur ini harus patuh dan setia pada keputusan serta seperangkat intruksi dari senior atau ketua umum HIMAT pusat?, atau saya harus tunduk pada putusan kepala fakultas? Atau kah, kami mahasiswa-mahasiswa ini adalah seorang manusia yang sedang belajar dalam kehidupan yang luas dan unik ini serta mencoba terus-menerus tanpa henti untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi? Meskipun, kerap kita sering salah jalan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.
Sebab karena kebingungan kami itu, lantasnya berupaya untuk bernaung pada organisasi bercorak kedaerah seperti HIMAT ini, berharap kemudian HIMAT menjadi kawah candradimuka segenap pemikiran gerakan kemahasiswaan minimal dalam ruang waktu kabupaten Cianjur, sehingga di sini letak pergerakan dan perjuangan kami dalam komitmen merealisasikan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagai tanggung jawab dalam pernannnya kader umat dan kader bangsa. Namun, sayang seribu sayang, usia tua HIMAT yang telah menginjak angka 62 tahun tidak serta menjadikan organisasi ini telah mapan dan mempunyai arah yang jelas (blue print) bagi mahasiswa Cianjur secara general. Tak sedikitnya, organisasi hanya dijadikan alat-sebagaimana yang telah diterangkan oleh banyak pihak yang ternyata bukan hanya oleh alumni-alumni nya melainkan juga oleh para pengurus aktif baik di cabang apalagi Pusat.
Mengaktifkan kembali HIMAT
Akan tetapi, ketimbang bersifat melankolis sambil melakukan refleksi dan kontemplasi, lebih baik kita bersifat konkret dalam menanggulangi segala harapan yang muncul dan tandas, harapan-meminjam penuturan Goenawan Mohamad, tidaklah pernah salah, memang sudah nasib kita saja yang kerap dikecewakan.
Sebagai seorang terdidik, terpelajar dan sebagai bagian dari semangat mahasiswa Cianjur kita memang dipaksa menerima kenyataan yang kerap tak sesuai dengan arah angin keinginan kita, tetapi menerima kenyataan saja tanpa kemudian berupaya mengubahnya adalah perbuatan orang-orang yang tidak berdaya. Jika mereka sudah tak berdaya maka kata “kemajuan” alangkah baiknya dihapuskan saja dari kamus bahasa umat manusia.
Untuk mengaktifkan kembali HIMAT sebagai kawah candradimuka minimal sejak dalam pikiran haruslah dilakukan dengan pengadaan ruang intelektual yang mumpuni, terstruktur dan berorientasi pada upaya menciptakan mahasiswa-mahasiswa Cianjur yang bersifat pedagog bukan demagog, pedagog dalam hal apa saja secara multidimensional bukan demagog dalam segala lini kehidupan.
Pada upaya pembentukan karakter ini maka segala bentuk warna dan afiliasi kepercayaan politik seperti latarbelakang organisasi ekstra (PMII, HMI, KAMMI, GMNI dan sebagainya) haruslah ditanggalkan, perbedaan-perbedaan kecil yang dirawat ialah gejala paling awal menghancurkan organisasi dari dalam. Kita, musti menerima segala perbedaan yang ada untuk bernuang dalam wadah yang sama.
Dalam realitasnya, kita menemukan bentuk perbedaan terkecil kerap dipolitisir demi tujuan-tujuan tertentu, entah sebagai intruksi senior atau pun merawat konflik dalam tubuh HIMAT. Sambil memperkuat karakter persatuan di antara kader, pengurus hingga alumni dan senior HIMAT, maka di sinilah kita bisa berjalan lebih jauh. Memang, harapan kerap tidak sampai pada kenyataan tetapi karena adanya harapan lah kita tetap mampu untuk hidup, karena ada harapan lah kawan-kawan mahasiswa Cianjur di Bandung, Sukabumi, Jakarta dan seluruh wilayah nusantara lainnya tetap mau untuk bersama-sama membangun HIMAT, meskipun mereka tahu usaha ini bukan upaya yang sebentar dan temporal, melainkan usaha yang perlu dilakukan dengan penuh kesabaran dan keberlanjutan.
Hingga, tak sedikit di antara kami-mahasiswa-mahasiswa Cianjur yang beradagium jika HIMAT tidak akan pernah ada matinya. Tetapi, hidup yang terus-menerus dengan mata yang picak dan kaki yang pincang bukanlah hidup yang didamba-dambakan, melainkan kita musti berjalan ke arah kesuksesan, sukses merupakan ujud kesempurnaan hidup.
Kesuksesan HIMAT
Maka, apa kesuksesan HIMAT yang dimaksud? Sebagai seorang junior yang kerap alpa dan papa, jawabannya adalah keterjalinan yang harmonis dari sejak pikiran, ucapan dan perbuatan. Dan ini hanya akan terjadi ketika pengurus HIMAT baik di tingkat cabang apalagi pusat memiliki visi bersama tentang Cianjur ke depan yang diejawantahkan melalui pendidikan dan kaderisasi yang optimal karena di dunia pascamodern ini, kita selalu dihadapkan pada persoalan relevan dan tidak relavan, HIMAT sebagai organisasi kedaerahan Cianjur harus tetap relevan pada teknologi, situasi ekonomi dan geo-politik dunia dan yang paling penting tetap relevan untuk mahasiswa Cianjur sendiri.
Sebabnya kemudian, HIMAT jangan hanya dijadikan organisasi taktis untuk menghidupi hidup pengurus-pengurus di dalamnya, ia harus menanamkan karakter, nilai-nilai serta arah pandang (paradigma) dalam membangun Cianjur. Jika HIMAT hanya dijadikan ajang untuk mencari makan, menghidupi hidup pengurus di dalamnya serta sebagai alat politik semata maka organisasi ini akan lapuk oleh hujan dan akan lekang oleh waktu, karena di dalamnya hanya menyisakan orang-orang yang lapar dan haus materi dan kekuasaan semata. Oleh : Isma Maulana Ihsan.(Hanni/Penamas)