PENAMAS ID – Indahnya toleransi di kampung Kampung Palalangon, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Harmonisasi tak hanya sebatas jargon. Namun sudah menjadi budaya yang terbentul secara natural. Menyikapi perbedaan, utamanya di hal keimanan sudah tak lagi jadi bahan perbedatan.
Warga di kampung itu saling menghargai meskipun lokasi Gereja dan masjid berdiri berdekatan. Para pemeluk agama yang berbeda itupun menjalankan ibadahnya tanpa rasa kehawatiran.
Kerapkali nada lonceng pertanda panggilan ibadah, untuk umat kristiani beriringan dengan lantuan adzan sebagai panggilan untuk ibadah salat bagi umat Muslim di Kampung Palalangon hal ini membuat indahnya toleransi di kampung Kampung Palalangon.
Komunitas kristen di Kampung Palalangon sudah ada sejak 1902. Tepatnya, ketika B.M Alkema, salah seorang zendeling (penyebar Injil) dari lembaga Pekabaran Injil dari Belanda bernama Nederlandsche Zendings Vererniging (NZV), dibantu tujuh keluarga perintis. Namanya Miad Aliambar, Jena Aliambar, Hasan Aliambar, Akim Muhiam, Naan Muhiam, Yusuf Sairin, dan Elipas Kaiin mendirikan gereja kristen pasundan (GKP) Palalangon.
BACA JUGA: PLN UP3 Cianjur Siapkan 94 Pegawai dan 255 Personil Menjaga Pasokan Listrik di Nataru.
“Dari 7 orang tersebut, mereka membawa keluarganya sehingga total ada 21 jemaat pertama di GKP Palalangon ini. Kemudian terbentuklah pemukiman dengan membuka lahan di sekitar gereja,” ujar Pengurus GKP Palalangon Vikaris (Vik) Ricki Albett Sinaga, Minggu (24/12/2023).
Di area kampung kristen itu, juga terdapat pemukiman muslim. Namun antar kelompok umat beragama tersebut tidak pernah terjadi gesekan ataupun konflik.
“Sejak dulu masyarakat dengan beda agama di sini hidup rukun berdampingan,” ujar Ricki.
Ricki menerangkan, umat kristiani di Kampung Palalangon menjungjung tinggi toleransi dalam bermasyarakat. Tak jarang juga, dilakukan ruang perjumpaan dengan umat beragama lain.
“Berbicara toleransi dalam bemasyarakat, kami membuka diri ruang perjumpaan dengan umat beragama lain. Di beberapa momen kita tidak tertutup. Dalam hari raya keagamaan pun terlibat. Kegiatan nataru kita juga dibantu dan dilindungi pihak keamanan dari warga muslim. Kami bersyukur umat muslim memberikan perhatian, peribadatan dengan khidmat,” sambung Ricki.
Hal yang sama datang dari Tokoh Muslim sekaligus Pimpinan Pesantren dan Masjid Nurul Hidayah Palalangon, Ust Ismail Soleh. Ia menerangkan masyarakat Palalangon tidak lagi sekadar toleran tetapi juga moderat, menjadikan perbedaan sebagai suati keindahan.
BACA JUGA: Tradisi Natal di Indonesia, Sangat Beragam dan Unik
“Di sini kita tetapkan bagaimnana kita hidup dengan latar belakang berbeda komunitas tetapi menjaga kerukunan dan perdamaian tanpa ekstrem kanan dan kiri. Menjadikan perbedaan sebagai rohmat, ketidakadanya persamaan itu menjadi keindahan dan kenikmatan,” kata Soleh.
Soleh menambahkan, umat nasrani dan muslim di Kampung Palalangon juga sesring gelar kegiatan bersama yang semakin mempersatukan serta mendekatkan satu sama lainnya.
“Kita sering kerjabakti bersama-sama. Dalam banyak hal kita selalu bersama, berdampingan, dan toleran. Kecuali dalam urusan peribadatan, itu tetap menjalankan kepercayaan masing-masing sesuai keimanannya,” imbuh Soleh.
Terpisah, Kepala Desa Kertajaya Sunandar, menyebut total ada 9.561 jiwa di desa tersebut, dimana 8.000 diantaranya pemeluk agama Islam dan 1.500 orang pemeluk agama kristen. Namun menurutnya kedua kelompok agama tersebut hidup rukun berdampingan.
“Kita di sini hidup berdampingan. Warga muslim dan nasrani tinggal bersebelahan, bahkan tidak sedikit di dalam satu keluarga juga ada pemeluk dua agama berbeda. Misalnya orangtuanya kristen dan anaknya muslim, ataupun sebaliknya,” ungkap Sunandar.
Sunandar menambahkan, masyarakat Desa Kertajaya terutama Kampung Palalangon sudah tak lagi membutuhkan ajaran toleransi. Pasalnya, mereka sudah hidup toleran sejak dulu. Bahkan, sebelum Indonesia Merdeka.
“Kita sudah bhineka tunggal ika sejak dulu, kita sudah bersatu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kita sudah terapkan hidup bernegara yang baik, tanpa melihat latar belakang suku ras dan agama. Kita di sini hidup rukun dengan satu identitas yang sama, yakni warga Indonesia,” pungkas Sholeh. (Redaksi/Bbs/Penamas.id)